Sabtu, 30 Agustus 2008

MENGHENTIKAN PRILAKU KEKERASAN DI SAPEKEN
DENGAN MEMBANGUN KESADARAN ”BAJO-ISME”

Oleh : Muarief


Masih segar dalam ingatan kita, belum lagi kering air mata keedihan tragedi amuk massa di Tanjung Kiaok yang meminta korban nyawa, melukai kehormatan sebagai sebuah ”kepulauan ibadah”, danmenghina kemanusiaan. Ditambah lagi tawuran pemuda antar pulau (kita ingat beberapa tawuran yang terjadi di kepulauan Sapeken) menambah deretan panjang prilaku anarkis dan kekerasan itu. Bukankah korban memiliki keluarga lain dan komunitas? Korban da keluarga memiliki saudara sesama manusia yang secara naluriah ikut bersedih. Semua pihak mengutuk aksi kekerasan tersebut. Dan dendam pun kembali disemai.
Mengapa kekerasan dan prilaku anarkis terus terjadi di sekeliling kita? Ada apa dengan kita? Ada apa dengan kemanusiaan, sehingga prilaku anarkis acapkali menjadi jawaban atas persoalan atau kehendak yang ingin dicapai? Memeang tidak mudah untuk menjawabnya. Dari sebuah pristiwa yang terjadi, selalu ada sebagian latar, bermacam-macam dasar pandangan, alasan, simpulan, dan seterusnya. Pihak yang melakukannya selalu mengklaim behwa mereka berangkat dari kebenaran, dan menyatakan pihak lain sebagai pihak yang bersalah dan harus mendapat hukuman.
Tapi yang justru terjadi, korban justru lahir dari pihak-pihak yang tak ikut bersangkut-kait dengan persoalan. Yang jadi korban justru pihak-pihak yang tidak tahu apa-apa, tidak terlibat dengan persoalan yang sesungguhnya. Kenyataan inilah yang memilukan dan mengiris-iris batin. Kita tidak bisa menerima ini, dengan pemahaman yang bagaimanapun juga.
Kekerasan harusnya menjadi alternatif terakhir dalam setiap perbedaan atau pertentangan, atau tidak menjadi alternatif dama sekali. Jika kita terbiasa menggunakan kekerasan sebagai solusi atas stagnasi yang terjadi, maka samalah artinya kita secara sengaja dan terus menerus mengikis nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Dalam banyak kasus, baik pada zaman moderen maupun yang tersurat dalam kitab-kitab, sejarah, kekerasan, perang, terorisme, tak pernah membuat keadaan menjadi lebih baik.
Apa kurangnya jalan kekerasan yang diambil oleh Jengis Khan dalam mencapai tujuan. Tak terhitung lagi jumlah korban untuk kemenangan itu, tapi pada akhirnya kemenangan yang diperoleh lewat kekerasan itu menjadi jalan yang tak nyaman dilalui dan kemudian tenggelam. Hitler juga pernah langkah serupa, jutaan orang mati, tetapi sejarah kemudian membuktikan bahwa keberhasilan yang ia capai dengan mengoyak-ngoyak jaring kemanusiaan itu pada akhirnya menjadi petaka baginya, bagi kemanusiaan yang ia bengun (baca: tragedi kematian Hitler).
Kekerasan (amuk massa, tawuran, dll) mungkin sebuah tanda bahwa ada pihak-pihak yang tidak mampu membnagun sebuah komunikasi yang bermartabat penuh kehormatan dengan pihak lain. Atau ketidakmampuan menjadikan dialog sebagai jembatan untuk mencapai hasrat. Ketidak mempuan itu kemudian diwujudkan dengan cara pemaksaan kehendak, melalui sebauh jalan pintas yang tidak manusiawi.
Padahal, jika komunikasi antar manusia, kelompok, bahkan komunikasi antar ideologi, dapat terbangun secara baik, santun, lembut, setara dan bermartabat, dan tidak tersumbat, maka ”kekerasan” tidak akan pernah muncul sebagai sebuah ”bentuk komunikasi”.
Selain soal komunikasi, kekerasan juga adalah soal cara menyikapi perbedaan pandangan. Kekerasan adalah muara dari kesombongan dalam memandang diri. Menganggap diri atau pihak sendiri yang memiliki otoritas kebenaran, sedang pihak lain sebagai pihak yang lebih rendah dan hina. Cara pandang yang semacam ini memang akan selalu menimbulkan benturan, karena ia menutup segala kemungkinan dialog. Hal seperti ini pernah dilakukan oleh kesombongan kulit putih warga Amerika terhadap kulit hitam pada masa Abraham Linclon (baca: Ras), dan banyak lagi.
Para pihak, semestinya menyadari bahwa kehidupan ini terdiri dari sederetan barisan panjang kafilah; bisa dalam bentuk suku, ras, bangsa, agama, bahasa, dan sebagainya. Itu belum lagi gerbong-gerbong kepentingan yang berbeda, beragam keinginan, dan lain-lain. Menidakkan kemajemukan sama artinya dengan menidakkan sunnatullah. Bukankah kita diciptakan berbeda satu dengan yang lainnya? Perbedaan-perbedaan itu tidak mesti disikapi dengan saling curiga atau bermusuhan. Justru perbedaan itu merupakan sebuah berkah kehidupan. Kita dapat membangun sebuah kesadaran bahwa dunia tidak hanya berisi ”semata kita” tapi juga ada pihak ”mereka” yang mungkin berbeda keyakinan. Ketika kita sadar bahwa dunia ini beragam, maka kesadaran itu seharusnya melahirkan suatu sikap, bahwa antara satu dengan yang lain mesti membnagun kebersamaan.
Kejadian-kejadian semacam tersebut di atas harus berhenti dan dihentikan. Kekerasan hanya akan membuat kita semakin terpuruk dari sisi apa pun. Semua perbedaan dan kehendak seyugyanya dikomunikasikan melalui sebuah dialog yang adil, dengan kesantunan yang tinggi, dan kelembutan yang menyejukkan. Kita harus secara terus menerus belajar untuk percaya bahwa interaksi yang santun lembut serta penuh kehormatan, akan memberikan hasil yang baik dan maksimal, lebih besar dari yang mampu diberikan oleh jalan kekerasan.

MEMBANGUN KESADARAN ”BAJO-ISME”
Kepulauan Sapeken merupakan gugusan pulau 22 pulau-pulau mini dengan penduduk 35.000 jiwa itu (baca: pesantren Abu Hurairah), sejak awal dikenal sangat relegius. Selain banyak didatangi oleh para ulama yang kemudian menetap (baca: tokoh moderenisme islama kepulauan sapeken), juga karena latar belakang penduduk asli yang hampir seluruhnya adalah etnis ”Bajo”, sisanya adalah etnis Bugis, Mandar, dan Makassar yang kemudian menyatu islami dalam komunitas masyarakat yang kultur Bajo yang dikenal islami.
Enis ”Bajo” yang juga disebut ”Same”, itu adalah sebuah etnis yang unik karena kehidupan mereka yang menyatu dengan laut, mereka hidup bermasyarakat di pantai-pantai dengan rumah-rumah panggung yang terbuat dari kayu dan bambu, bahkan ada diantaranya yang berumah di atas ”leppa-leppa” sembari berhanyut ke lautan tradisional yang dalam seperti terungkap dalam semboyan mereka ”ma darat kite ngilantu, ma di laut kite esso” .
Sebagaimana kita ketahui, bahwa mayarakat Bajo adalah masyarakat yang terkenal dengan asas kekelurgaannya, solidaritas yang tinggi, ini didukung oleh pulau yang membentuk watak mereka yang hanya luasnya kurang lebih 2,5 kilo persegi. Dengan demikian masyarakat Bajo adalah masyarakat yang memiliki ikatan emosional senasib-sepenanggungan.
Sungguh ironis, jika kita menyaksikan beberapa tragedi kekerasan yang terjadi, ada apa dengan masyarakat ”Same” kita? Apakah nilai dan budaya Bajo kita telah terkoyak-koyak?
Oleh karena itu, kita perlu membagun kembali kesadaran ”Bajo-isme” (semangat bajo kita; memiliki rasa kepedulian yang tinggi terhadap sesama, asas kekeluargaan, dll) dengan memprioritaskan kepentingan bersama di atas segala-galanya. Hadaanallahu wa iyya kum Ajma’in

Tidak ada komentar: