Jumat, 29 Agustus 2008

MEMBANGUN PULAU SASIIL DALAM PROYEKSI MASA DEPAN; SEBUAH KENISCAYAAN
(Sebuah Renungan Singkat)

Oleh : Muarif


Barangkali 50-100 tahun ke depan, orang tua seperti Bapak Mahamud, Kepala Desa, atau yang lainnya sudah memasuki usia senja, atau bisa jadi sudah berada di alam lain. Namun pertanyaannya, apa yang aka diwariskan untuk pulau yang tercinta ini, atau generasi-generasi berikutnya? Menjawabnya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi butuh perenungan yang mendalam dan tentunya dengan penuh kesadaran yang sejatinya harus tumbuh mulai sekarang. Jika tidak, keadaan dan kondisi pulau sasiil atau generasi (lebih tepatnya anak cucu kita) akan sama dengan kondisi sekarang, atau mungkin lebih parah lagi.
Ketika membaca statemen di atas, sebagaian orang mungkin mengiyakan, mungkin juga sebagian lagi menyangkal dengan alasan yang macem-macem, kira-kira kalau ditebak alasan mereka”itukan urusan belakangan”, dan lain-lain ungkapan senada.
Terhadap pikiran orang tua seperti ini seharusnya tidak perlu ditiru oleh generasi sekarang, ”seharusnya mereka tidak hidup, dan kalaupun hidup seharusnya tidak berusia panjang” apalagi menikmati perjalanan waktu sampai 50-100 tahun ke depan. Karena hanya akan menambah beban sejarah kehidupan. Meminjam istilah Gie ”generasi-generasi tua yang mengacau harus disingkirkan”.
Membagun dalam proyeksi masa depan artinya bahwa untuk membangun pulau sasiil harus berorientasi jangka panjang, tidak terhenti pada masa sekarang, apalagi mundur ke masa lalu yang penuh dengan ketidak jelasan. Kegagalan dalam membangun adalah karena ketidak mampuan dalam membaca realitas. Dengan kata lain, salah satu kunci dalam membangun adalah kemampuan dalam membaca dan memahami realitas itu sendiri.
Lagi-lagi pertanyaannya, apa yang akan kita bangun dala proyeksi masa depan itu?. Pada suatu kesempatan, saya pernah bertanya pada KH. Ad-Dailamy Abu Hurairah lewat pesan singkat (sms), pertanyaan saya seperti ini: ”dalam paradigma membangun kepulauan, dari mana kita harus memulai?”. Lalu dijawab oleh Beliau lewat sms pula : ”pendidikan dan SDM serta sarana yang memadai”. Dengan jawaban singkat itu, saya bisa memahami bahwa kunci membangun sebuah peradaban adalah dengan melalui sektor pendidikan dan SDM-nya. Diperkuat dengan pernyataan Fazlur Rahman, bahwa pendidikan merupakan kunci peradaban sebuah bangsa.
Pernyataan itu tidak sekedar omong kosong. Jepang adalah salah satu contohnya, ketika Jepang mengalami kekalahan dalam Perang Dunia II di mana saat itu Jepang porak-poranda dan harus memulai membangun dari awal, maka sugguh tepat langkah yang diambil adalah memulainya dari sektor pendidikan dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Beda halnya di Indonesia, pertama kali dibangun adalah ekonomi dan politik dengan mutu SDM yang rendah, sehingga banyak melahirkan manusia-manusia yang serakah dan banyak kepentingan-kepentingan sesaat, berlomba menduduki jabatan kekuasaan. Lahirlah kemudian generasi-generasi yang mentalnya_meminjam Amin Rais-bermental irlander (baca; Selamatkan Indonesia,2007)
Oleh karena itu, mari kita bangun kesadaran kolektif sejak sekarang. Mari kita menganggap bahwa pendidikan itu penting, dan tentunya menyediakan sarana yang cukup memadai agar kita mampu bersaing di tengah pusaran global, paling tidak kita tidak menjadi bangsa yang bodoh dan dibodohi. Semoga !
Mudah-mudahan ini menjadi bahan renungan kita bersama. Wallahu a’lamu bisshowab

Tidak ada komentar: