Rabu, 27 Agustus 2008

ISLAM DAN DEMOKRASI
Oleh : Muarif *


Salah satu isu yang paling populer sejak dasawarsa abad ke-20 yang baru lalu adalah isu demokrasi. Di antara indikator paling jelas dari kepopuleran tersebut adalah berlipat gandanya jumlah negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi. Demokrasi sebagai suatu sistem telah dijadikan alternatif dalam berbagai tatanan aktivitas bermasyarakat dan bernegara di beberapa negara, seperti diakui oleh Mahfud MD, ada dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan bernegara, pertama, hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamental, kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertinggi.(1
Namun di tengah gemuruh proses demokratisasi yang terjadi di belahan dunia, dunia Islam sebagaimana dinyatakan oleh oleh para pakar seperti Larry Diamond, Juan J Linze, Seymour Martin Lipset tidak mempunyai prospek untuk menjadi demokratis serta tidak mempunyai pengalaman demokrasi yang cukup. Hal senada juga dikemukakan oleh Samuel P Huntington yang meragukan ajaran Islam sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. karena itu dunia Islam dipandang tidak menjadi bagian dari gemuruhnya proses demokratisasi dunia.(2
Pengertian demokrasi sampai pada benruknya sekarang dikenal adalah setelah melalui proses yang gradual dan evolutif disebabkan ia adalah konsep yang dinamis, multi-impretatif dan dapat berkembang sesuai dengan konteks dan kondisi sosio-historis di mana konsep demokrasi lahir dan berkembang. sifat yang dinamis dan flexible menyebabkan lahirnya sejumlah tipologi demokrasi itu sendiri seperti; demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, dan lain-lain. sehingga suatu bentuk pemerintahan otoriter pun terkadang mengklaim dirinya sebagai pemerintahan yang demokratis.
Pengertian tentang demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa dan istilah. Secara etimologis “demokrasi” terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara bahasa demos-cratein atau demos-cratos (demokrasi) adalah keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat. Dalam istilah yang populer dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.(3
sementara itu, pengertian demokrasi secara istilah sebagaimana dikemukakan para ahli sebagai berikut : Joseph A Schmeter, demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Sidney Hook “demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa. Philippe C Schimitter dan Terry Lynn Karl, demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan di mana pemerintah dimintai tanggungjawab jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara...” (4
Sementara itu, Affan Gaffar (pakar politik UGM) memaknai demokrasi dalam dua bentuk yaitu pemaknaan secara normatif (demokrasi normatif) dan empirik (demokrasi empirik). Demokrasi normatif adalah demokrasi yang secara ideal hendak dilakukan oleh sebuah negara. Sedangkan demokrasi empirik adalah demokrasi dalam perwujudannya pada dunia politik praktis. (5
dengan demikian, makna demokrasi sebagai dasar hidup bermasyarakat dan bernegara mengandung pengertian bahwa rakyatlah yang memberikan ketentuan dalam masalah-masalah mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan negara, karena kebijkan tersebut akan menentukan kehidupan rakyat.
Secara historis istilah demokrasi sudah dikenal sejak abad ke-5 SM. pada awalnya, ia merupakan respon terhadap pemerintahan monarki yang buruk dan kediktatoran penguasa di kota-negara (city-state) pada masa Yunani kuno. Sementara ide-ide demokrasi modern berkembang pada abad ke-16 M menyusul tradisi pencerahan yang melahirkan ide-ide dan lembaga-lembaga sekulerisme yang dipelopori oleh Nicollo Machiavelli (1462-1527), ide negara kontrak oleh Thomas Hobbes (1588-1679), gagasan tentang konstitusi negara dan liberalisme, serta pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan lembaga-lembaga federal oleh John Locke (1632-1704). (6
Berdasarkan fakta historis tersebut di atas jelaslah bahwa paham demokrasi dalam bentuknya yang paling sederhana sudah lama dikenal jauh sebelum datangnya Islam. ia telah berkembang sejak zaman Plato dan Ariestoteles ketika Al-Qur'an belum diturunkan Allah ke dunia. oleh sebab itu, sesuatu hal yang wajar saja jika wacana dan pembicaraan tentang demokrasi selalu diasosiasikan ke dunia Barat, yang jika ditarik ke belakang sampai ke Yunani kuno. Dengan kata lain, paham dan istilah demokrasi bukan berasal dari Islam, tetapi ia di luar dunia Islam. meskipun demikian bukan berarti tidak ada prinsip-prinsip berdemokrasi sama sekali dalam Islam.
Sebenarnya jika diamati lebih jauh, terdapat unsur-unsur kesamaan antara demokrasi model Barat dengan demokrasi Islam dalam beberapa hal; meskipun keduanya tetap mempunyai perbedaan-perbedaan karena memang keduanya lahir dan berkembang dengan latar belakang kultur dan budaya yang tidak sama.
Dalam rumusan Ahmad Syauqi Al Fanjari (seorang Penulis Mesir), adanya afinitas antara dua entitas demokrasi ini, sebagaimana dikutip oleh Hamid Enayat “apa yang disebut kemerdekaan di Eropa adalah persis apa yang didefinisikan oleh agama kita sebagai keadilan (‘adl), hak (haq), musyawarah (syuro) dan persamaan (al musawat)...ini disebabkan karena aturan-aturan kemerdekaan dan demokrasi terdiri dari pemberian keadilan dan hak kepada rakyat, dan peran serta bangsa dalam menentukan nasibnya sendiri. Padanan kemerdekaan dalam Islam adalah kebaikan budi dan kasih sayang (rahmah), dan padanan demokrasi adalah saling mengasihi (tarahum). Dalam Al-Qur'an, demikian diingatkan, Muhammad SAW diperintahkan untuk menunjukkan sikap pemaaf, dan di dalam ayat yang sama beliau diperintahkan agar bermusyawarah dengan kaum Muslimin dalam urusan-urusan kemasyarakatan...” (7
Dari rumusan Al Fanjari ini bisa dilihat bahwa dari kitab suci Al-Qur'an dapat digali masalah-masalah substansial yang berkaitan dengan prinsip-prinsip hidup berdemokrasi. Sebagian cendekiawan Muslim menggunakan istilah Syuro sebagai padanan konsep “demokrasi Islam”, disebabkan dalam prinsip dan kaedah Syuro diperhatikan pentingnya bertukar pikiran, berkonsultasi, bertukar pendapat mengenai berbagai masalah kemasyarakatan dan kepentingan publik.
Jika ditelusuri lebih jauh, perbedaan yang signifikan antara demokrasi Barat dengan sistem Syuro atau demokrasi Islam adalah berpangkal pada pemeganh kedaulatan atau kekuasaan. Demokrasi Barat menjadikan kedaulatan sebagai prinsip kekuasaan legislatif adalah milik rakyat. Sedangkan dalam sistem Syuro, kedaulatan pada prinsipnya hak dan wewenang Allah yang termanifestasikan dalam syari'ah, dan yang terakhir adalah produk Allah bukan buatan manusia atau pun alam.
Sebagian ilmuan Muslim berpendapat bahwa sistem dan konsep demokrasi sejak awal sejalan dengan ajaran Islam, hanya saja kedaulatan yang berada di tangan rakyat tidaklah dipahami bahwa keputusan apapun dapat diambil tanpa batasan-batasan tertentu oleh rakyat atau melalui perwakilannya. Suara rakyat adalah suara Tuhan bukanlah dalam pengertian sebenarnya dikarenakan tidak ada kekuasaan yang berada di atas kekuasaan Tuhan. Akan tetapi bukan berarti manusia tidak memiliki otoritas apapun, karena pada kenyataannya Allah memberikan wewenang kepada manusia untuk melakukan ijtihad, dan lain-lain termasuk membentuk sistem pemerintahan yang demokratis.
Jika dilihat secara umum respon umat Islam terhadap demokrasi, minimal tiga bentuk yang masing-masing merepresentasikan tiga pandangan utama: Pertama, kelompok yang memandang bahwa konsep Islam sejalan dengan konsep demokrasi dengan alasan bahwa demokrasi itu sendiri sudah inklusif di dalam ajarannya. Kedua, kelompok yang menyatakan bahwa demokrasi adalah paham dan konsep yang mulia pada dasarnya, tetapi dalam perkembangan berikutnya mengandung bias pemikiran Barat sehingga masih perlu difilter dan diwarnai dengan jiwa yang Islami. Dengan kata lain, pola pelaksanaan kedaulatan rakyat yang tidak keluar dari prinsip-prinsip dasar ajaran Islam perlu didukung dan dikembangkan. Ketiga, kelompok yang berpendapat bahwa demokrasi adalah paham sekuler dan kehadirannya mesti ditolak, disebabkan di dalam sistem demokrasi segala produk hukum dan perundang-undangan dibuat oleh perwakilan rakyat bukan oleh Allah. (8
Berdasarkan pemetaan yang dikembangkan oleh John L Esposito dan James P Piscatory, secara umum dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok pemikiran :
Pertama, Islam dan demokrasi adalam dua sistem politik yang berbeda. Islam tidak bisa disubordinatkan dengan demokrasi. Islam merupakan sistem politik self-suffucient, hubungan keduanya bersifat mutually-ekslusif. Islam dipandang sebagai sistem politik alternatif demokrasi. dengan demikian, Islam dan demokrasi adalah dua hal yang berbeda, karena itu demokrasi sebagai konsep Barat tidak tepat untuk dijadikan sebagai acuan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sementara Islam sebagai agama yang kaffah tidak saja mengatur persoalan akidah (teologi) dan ibadah, melainkan mengatur segala aspek kehidupan umat manusia. Di antara tokoh kelompok ini adalah Syaikh Fadhallah Nuri, Sayyid Quthb, Thabthaba’i, dan lain-lain.
Kedua, Islam berbeda dengan demokrasi apabila demokrasi didefinisikan secara prosedural seperti dipahami dan dipraktekkan di negara maju (Barat), sedangkan Islam merupakan sistem politik demokratis kalau demokrasi didefinisikan secara substansif, yakni kedaulatan di tangan rakyat dan negara merupakan terjemahan dari kedaulatan rakyat ini. Dengan demikian dalam pandangan kelompok ini demokrasi adalah konsep yang sejalan dengan Islam setelah diadakan penyesuaian penafsiran terhadap konsep demokrasi itu sendiri. Di antara tokoh-tokoh dari kelompok ini adalah Al Maududi, Rasyid al Ghanaoushi, Abd Fatah Morou, dan lain-lain. Di Indonesia diwakili oleh M. Natsir dan Jalaluddin Rahmat.
Ketiga, Islam adalah sistem nilai yang membenarkan dan mendukung sistem politik demokrasi seperti dipraktekkan negara-negara maju. Di Indonesia, pandangan yang ketiga ini tampaknya yang lebih dominan karena demokrasi sudah menjadi bagian integral sistem pemerintahan Indonesia dan negara-negara Muslim lainnya. Di antara tokoh dalam kelompok ini adalah Fahmi Huwaidi, Al ‘Aqqad, M. Husen Haikal, Zakaria Abdul Mun’im Ibrahim, Robert N Bellah, dan lain-lain. Di Indonesia diwakili oleh Nur Chalis Madjid, Amin Rais, Munawir Sadzali, A Syafi’i Ma’arif dan Abdurrahman Wahid. (9




Catatan :
Dede Rosyada, dkk. Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003, h 141.
ibid, h 141
ibid, h 110
ibid, h 110
ibid, h 110
Dr. Masykur Hakim, Drs. Tanu Widjaya, MA. Model Masyarakat Madani, Jakarta: Intimedia, 2003, h 56.
ibid, h 57
ibid, h 59
Dede Rosyada, dkk. Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003, h 142


* Mahasiswa Fakultas Syariah (hukum tata Negara dan pidana islam) IAIN SURABAYA

Tidak ada komentar: