Sabtu, 23 Agustus 2008

100 Tahun Kebangkitan Nasional;
Membebaskan Sapeken Dari Tujuh Penjara Politik


Oleh : Muarif
Mahasiswa Fakultas Syari’ah
(Hukum Tata Negara dan Pidana Islam) IAIN Surabaya



Dalam usia 100 tahun kebangkitan nasional, pertanyaan mendasar adalah sampai di manakah perjalanan politik bangsa Indonesia sekarang ini? Tidak ada yang tahu pasti. Sebab, para politisi, para pakar, para jurnalis, dan masyarakat sendiri sekarang lebih sibuk bermain-main dengan berbagai atraksi sulap atau akrobat politik, termasuk akrobat (pertunjukan seni dengan keterampilan yang luar biasa) kata-kata, yang hampir setiap hari berganti-ganti ditambah lagi dengan permainan dari mereka yang mengaku sebagai paranormal, para broker politik dan tokoh-tokoh di balik layar yang juga ikut memproduksi ilusi, imajinasi dan isu-isu politik, yang juga hampir setiap hari lakonnya. Ini menyebabkan peristiwa politik atau fakta-fakta politik yang sesungguhnya wajar, rasional dan relatif kalkulatif berubah menjadi sesuatu yang mistis, tidak jelas, mendebarkan dan sulit dikalkulasi.
Itu semua kemudian mengaburkan perjalanan politik bangsa Indonesia. bukan saja posisinya, tetapi juga makna-maknanya. Bagi mereka yang tidak kritis, maka atraksi sulap politik, akrobat politik, ilusi, imajinasi dan isu-isu politik buatan sulit dijadikan pertanda bagi perjalanan politik bangsa. Akan tetapi bagi mereka yang mampu bersikap kritis dan efektif, semua itu dapat dimaknakan bahwa bangsa Indonesia memang tengah menempuh perjalanan politik transisional waktu dan tempat ketika berbagai negoisasi-negoisasi ulang dalam perpolitikan dilakukan.
Akan tetapi selalu ada pertanyaan mendasar yang mengganggu. Dimanakah posisi rakyat kecil di tengah berbagai macam pertunjukan dan eksposisi politik itu? juga dimanakah posisi kekuatan moral seperti mahasiswa dan cendekiawan bebas sekarang ini? Tidak jelas benar. yang terasa sampai hari ini, rakyat, wong cilik, juga mahasiswa hanya diperlakukan sebagai komoditi (barang dagangan) politik dan alat politik belaka. Mereka sering tidak kebagian panen politik. Tetapi justru sering kebagian peran sebagai pekerja keras, korban, atau instrumen-instrumen yang dimanfaatkan oleh para politisi. Lebih-lebih yang tidak berhati nurani.


Tujuh penjara politik
Bangsa Indonesia nampaknya belum berhasil membebaskan diri berbagai penjara politik yang selama ini megungkungnya. Dan selama belum bisa berhasil keluar dan membebaskan diri dari penjara-penjara politik itu, bangsa Indonesia akan kehilangan kesempatan untuk menjadi bangsa yang unggul dan siap bertarung di millennium ketiga nanti. penjara-penjara politik yang masih membelenggu bangsa Indonesia, adalah :
Penjara pertama, kekerasan. kita melihat masih digunakannya kekerasan sebagai alat penyelesaian. Termasuk kekerasan sturuktural, kekerasasan simbolik, dan kekerasan fisik, kekerasan massa misalnya. Ini bertentangan dengan semangat kemanusiaan yang sekarang sedang menjadi trend global yang mengkhawatirkan, kekerasan politik itu akan melahirkan kekerasan politik yang baru, dan seterusnya. Karena yang menjadi korban kekerasan ada kemungkinan untuk melakukan balas dendam
Penjara kedua, mitos-mitos politik. Adanya mitos-mitos politik ini akan menjadi penghalang besar bagi berlangsungnya transparansi proses-proses politik, akan meniadakan kemungkinan kontrol yang obyektif. Lebih-lebih lagi kalau adanya mitos itu kemudian sampai berfungsi sebagai bagian dari proses labelisasi pada kelompok-kelompok masyarakat tertentu. mitos bahwa bangsa Indonesia hendaknya jangan dipimpin oleh Presiden dari masyarakat santri, karena ditakuti akan bertindak ekstrim misalnya. Mitos lain yang juga perlu dicermati adalah bahwa satu-satunya penyelamat negara adalah aparat militer. Adanya mitos-mitos seperti itu ternyata menyebabkan adanya kecenderungan pengambilan keputusan politik yang tidak transparan dan cenderung diskriminatif.
Penjara ketiga, kultus individu. Adanya gejala kultus individu, dan menempatkan tokoh-tokoh politik tertentu pada posisi super human sedang para pengikutnya harus rela menempati posisi sub human atau setengah manusia. padahal dalam kehidupan politik yang sehat, tokoh politik dan pengikutnya sama-sama berada pada posisi human, sehingga posisi humanitasnya juga setara. Pola relasinya adalah horizontal-fungsional, bukan vertikal-hirarkis. Maksudnya, tokoh politik tersebut adalah manusia biasa yang layak untuk dikritik dan ditegur, bahkan di hukum bila berbuat salah.
Penjara keempat. Sakralisasi. Masih berlakunya proses sakralisasi lembaga-lembaga dan simbol-simbol pemerintahan. Bahkan sakralisasi ini menyentuh pada sistem politik yang seharusnya terbuka terhadap perubahan dan koreksi yang diperlukan. Misalnya sakralisasi Pancasila, sakralisasi UUD 45, sakralisasi lembaga, sakralisasi partai, dan lain sebagainya. Sakralisasi seperti ini akan membuat kehidupan politik akan cenderung berjalan kaku, linier, kering dan tidak luwes menghadapi berbagai kemungkinan perubahan di luar kehidupan politik.
Penjara kelima, penjara historis. Baik berupa trauma sejarah, stigma sejarah, stigma politik, dan pengalaman historis sebagai pemenang yang dimanjakan atau pengalaman historis sebagai pecundang yang dikurangi, dianiaya, dan dikhianati oleh pihak lain. Kita yang belum berhasil membebaskan diri dari penjara historis ini akan mudah melakukan balas dendam, sapu bersih lawan dan bertindak tidak demokratik karena tidak menghargai pluralitas politik. Partai yang lahir dari penjara historis seperti itu, maka agenda politiknya juga terbatas pada upaya untuk menghilangkan beban sejarahnya sendiri, secara eksklusif tidak memandangnya sebagai beban sejarah bangsa yang perlu disikapi dengan kearifan.
Penjara keenam, ketidak berdayaan warga negara sebagai aktor politik. Konsep warga negara masih belum dihayati dengan baik oleh setiap anggota masyarakat. kehadiran mereka selama ini telah mengalami distorsi dan reduksi makna, hanya hadir dan diperlukan sebagai massa, bukan sebagai warga negara. Buktinya, pernah ada kebijakan pengembangan massa, dan setiap pengikut partai masih sering disebut sebagai massa partai. Jika terjadi bentrok, yang ditulis dalam berita pelakunya juga massa. Massa ini mirip dengan oknum, yaitu sesuatu yang sulit didefinisikan sehingga sulit dimintai pertanggungjawaban, dan sulit dikenai sanksi hukum jika melanggar hukum.
Penjara ketujuh, demoralisasi atau kondisi mental bangsa yang mengalami proses pembusukan. Mental bangsa yang mengalami pembusukan ini awalnya ditandai dengan perlakuan yang tidak adil antara proses dan hasil, penempatan posisi yang tidak seimbang antara alat dan tujuan dan kecenderungan disfungsionalisasi moral hampir di segala bidang. Pada saat melaksanakan pembangunan, yang dipentingkan cenderung hasil. Proses untuk mencapai hasil sepertinya menjadi kurang penting. Oleh karena itu terjadilah proses pembusukan mental yang berkepanjangan.
Penjara-penjara politik tersebut di atas saat ini kita rasakan masih membelenggu kepulauan Sapeken. Kita melihat masih digunakannya kekerasan sebagai alat penyelesaian, sebagai contoh adalah tragedi berdarah di Tanjung Kiaok yang oleh kawan-kawan HIMAS disebut dengan peristiwa terheboh di tahun 2008 ini di Kepulauan Sapeken. Menurut pengamatan saya bahwa tragedi berdarah itu ada unsur-unsur politik di dalamnya.
Yang tidak kalah pentingnya juga di antara penjara-penjara politik yang masih membelenggu Kepulauan Sapeken adalah adanya kultus individu. Dan masih sakralisasi-sakralisasi partai, dan lain sebagainya.


Alternatif upaya pembebasan
Penjelasan adanya tujuh penjara politik di atas juga akan memudahkan kita untuk membedakan mana yang mendukung reformasi dan mana yang mendukung status quo. Maksudnya, mereka yang membela dan cenderung tidak mau membebaskan diri dari penjara-penjara politik di atas layak dikatagorikan sebagai pendukung status quo, pendukung masa lalu yang gelap dan membuat bangsa Indonesia menderita dan terpuruk selama puluhan tahun. Sedang mereka yang berjuang mati-matian bersama masyarakat dan bangsa untuk membebaskan diri dari penjara-penjara politik di atas layak disebut sebagai pendukung reformasi. Mereka adalah pendukung masa depan Indonesia Baru yang lebih demokratis, lebih bebas, transparan dan lebih sehat yang lebih menjanjikan kehidupan yang lebih layak untuk dijalani, termasuk dijalani secara politik.
Untuk itu agar perjalanan Bangsa Indonesia secara politik akan memasuki kehidupan yang sehat, maka bangsa Indonesia sudah sepantasnya berani berjuang sungguh-sungguh untuk membebaskan diri dari tujuh penjara politik itu. ini diperlukan agar perjalanan politik tidak berjalan di tempat atau malahan mengalami kemunduran, tetapi akan mampu mengalami kemajuan yang berarti dan signifikan.
Satu-satunya kemungkinan terbaik yang harus ditempuh adalah melangkah maju. oleh karena itu, penjara-penjara politik itu harus dinegasikan, harus dipatahkan, dihancurkan. Caranya adalah dengan melakukan upaya pembebasan dengan alternatif langkah sebagai berikut :
Pertama, manjauhi segala macam bentuk kekerasan, lebih-lebih kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalah.
Kedua, melakukan upaya demitologisasi perangkat politik negara, perangkat politik masyarakat, dan demitologisasi hal-hal yang selama ini dimitoskan. Caranya dengan menumbuhkan kesadaran bahwa proses politik adalah proses yang wajar-wajar saja.
Ketiga, memangkas dan menghentikan kultus individu.
Keempat, melakukan desakralisasi simbol-simbol negara, sistem politik, lembaga politik, konstitusi, partai-partai dengan segala macam produknya. desakralisasi diperlukan karena hal-hal tersebut memang bukan hal yang sakral.
Kelima, agar pengalaman historis tidak berfungsi negatif menjadi semacam penjara politik, maka dengan jiwa besar kita hendaknya mampu memaafkan masa lalu.
Keenam, perlu dilakukan pendidikan politik sebagai wujud dari pemberdayaan politik.
Ketujuh, dengan menghentikan proses pembusukan mental dan melakukan operasi mental secara serentak lewat berbagai lini. Caranya, dengan memasukkan atau menumbuhkan kesadaran baru, dan memfungsikan moral sebagai kendali kontrol setiap rumusan kebijakan dan setiap evaluasi kebijakan politik.
Dengan demikian, kalau dulu kita mengenal politik sebagai panglima, ekonomi sebagai panglima, panglima sebagai panglima, maka di masa sekarang dan masa yang akan datang hendaknya bangsa Indonesia mau menjadikan moral sebagai panglima. BANGKIT INDONESIA KU, BANGKIT SAPEKEN KU. Wallahu A’lam bisshowab.

Tidak ada komentar: